Nama Kelompok 4 dan NIM
1b PGSD
1b PGSD
Widia Astuti 116190058
Dina Fauziah 116190036
Deziyana 116190033
Trisna Putri 116190054
Sarah Pratiwi 116190050
Tri Wulan 116190039
Ahmad 116190034
Pengertian Filsafat
Secara etimologis istilah
”filsafat“ atau dalam bahasa Inggrisnya “philosophi” adalah berasal dari bahsa
Yunani “philosophia” yang secara lazim diterjemahkan sebagai “cinta kearifan”
kata philosophia tersebut berakar pada kata “philos” (pilia, cinta) dan “sophia” (kearifan).
Berdasarkan pengertian bahasa tersebut
filsafat berarti cinta kearifan. Kata kearifan bisa juga berarti “wisdom” atau
kebijaksanaan sehingga filsafat bisa juga berarti cinta kebijaksanaan. Berdasarkan
makna kata tersebut maka mempelajari
filsafat berarti merupakan upaya manusia untuk mencari kebijaksanaan hidup yang
nantinya bisa menjadi konsep kebijakan hidup yang bermanfaat bagi peradaban
manusia. Seorang ahli pikir disebut filosof, kata ini mula-mula dipakai oleh
Herakleitos.
Beberapa tokoh-tokoh filsafat menjelaskan pengertian
filsafat adalah sebagai berikut:
• Socrates
(469-399 s.M.)
Filsafat adalah suatu bentuk peninjauan diri yang bersifat
reflektif atau berupa perenungan terhadap azas-azas dari kehidupan yang adil
dan bahgia. Berdasarkan pemikiran tersebut dapat dikembangkan bahwa manusia
akan menemukan kebahagiaan dan keadilan jika mereka mampu dan mau melakukan peninajauan diri atau
refleksi diri sehingga muncul koreksi terhadap diri secara obyektif
• Plato (472 –
347 s. M.)
Dalam karya tulisnya “Republik” Plato menegaskan bahwa para
filsuf adalah pencinta pandangan tentang kebenaran (vision of truth). Dalam
pencarian dan menangkap pengetahuan mengenai
ide yang abadi dan tak berubah. Dalam konsepsi Plato filsafat merupakan
pencarian yang bersifat spekulatif atau perekaan terhadap pandangan tentang seluruh kebenaran. Filsafat Plato ini
kemudan digolongkan sebagai filsafat spekulatif.
- Memperoleh pengetahuan berupa pemahaman Pancasila melalui filsafat.
- Memperoleh pengetahuan filosofik landasan Pancasila.
- Mengetahui tugas sebagai warga negara seperti apa dan bagaimana dalam negara Pancasila.
- Pembelajaran politik serta kenegaraan bagi setiap warga negara Indonesia. Tidak terkecuali pemerintah dan penyelenggara negara.
- Memberikan cakrawala berpikir nan radiks (mendalam dan mendasar) bagaimana seharusnya kita berbangsa.
Manfaat yang
diperoleh dari mempelajari filsafat
·
Seseorang akan memperoleh kebenaran dengan
berfikir kritis
·
Memperluas pandangan seseorang karena dapat
berfikir secara rasional
·
Belajar filsafat akan membangun pribadi
berkarakter, tidak mudah terpengaruh olehfaktor eksternal, tetapi disisi lain
masih mampu mengakui harkat dan martabat orang lain, mengakui keberagaman dan
keunggulan orang lain.
·
Memperoleh pengetahuan berupa pemahaman
Pancasila melalui filsafat.
·
Memperoleh pengetahuan filosofik landasan
Pancasila.
·
Mengetahui tugas sebagai warga negara seperti
apa dan bagaimana dalam negara Pancasila.
·
Pembelajaran politik serta kenegaraan bagi
setiap warga negara Indonesia. Tidak terkecuali pemerintah dan penyelenggara
negara.
·
Memberikan cakrawala berpikir nan radiks
(mendalam dan mendasar) bagaimana seharusnya kita berbangsa.
Bidang-bidang kajian
filsafat
Menurut Ruyadi (2003:15), secara umum bidang-bidang kajian
filsafat ada tiga yaitu :
a) Ontologi
Secara etimologis berasal dari kata
“on” (=being=ada) dan “logos” (=ilmu).
Jadi, Ontologi adalah bidang kajian filsafat yang
mempelajari hakekat ada (memplajari tentang keberadaan sesuatu atau mengapa
sesuatu itu ada).
b) Epistemologi
Secara etimologis berasal
dari kata “episteme”
(=knowledge=pengetahuan) dan “logos” (=ilmu).
Jadi, Epistemologi adalah bidang kajian filsafat yang
mempelajari tentang hakekat ilmu pengatahuan.
c) Aksiologi
Secara etimologis berasal dari kata
“axios” (=value=nilai) dan “logos”(=ilmu). Jadi, Aksiologi adalah bidang kajian
filsafat yang mempelajari hakekat nilai.
Dimana sesuatu dianggap bernilai bila memenuhi syarat-syarat
sebagai berikut :
(1) baik
(2) benar
(3) indah
Faktor timbulnya keinginan manusia untuk berfilsafat adalah
:
·
Keheranan, sebagian filsuf berpendapat bahwa
adanya kata heran merupakan asal dari filsafat. Rasa heran itu akan mendorong
untuk menyelidiki dan mempelajari.
·
Kesangsian, merupakan sumber utama bagi
pemikiran manusia yang akan menuntun pada kesadaran. Sikap ini sangat berguna
untuk menemukan titik pangkal yang kemudian tidak disangsikan lagi.
·
Kesadaran akan keterbatasan, manusia mulai
berfilsafat jika ia menyadari bahwa dirinya sangat kecil dan lemah terutama
bila dibandingkan dengan alam sekelilingnya. Kemudian muncul kesadaran akan
keterbatasan bahwa diluar yang terbatas pasti ada sesuatu yang tdak terbatas.
Pancasila Sebagai Sistem Filsafat
Pancasila sebagai sistem filsafat
adalah suatu kesatuan yang saling berhubungan untuk satu tujuan tertentu,dan
saling berkualifikasi yang tidak terpisahkan satu dengan yang lainnya. Jadi
Pancasila pada dasarnya satu bagian/unit-unit yang saling berkaitan satu sama
lain,dan memiliki fungsi serta tugas masing-masing.
Definisi Sistem :
Sistem adalah suatu kebulatan atau
keseluruhan, yang bagian dan unsurnya saling berkaitan (singkron), saling
berhubungan (konektivitas), dan saling bekerjasama satu sama lain untuk satu
tujuan tertentu dan merupakan keseluruhan yang utuh.
LANDASAN ONTOLOGI,
EPISTIMOLOGI, DAN AKSIOLOGI PANCASILA
Membahas Pancasila sebagai filsafat
berarti mengungkapkan konsep-konsep kebenaran Pancasila yang bukan saja
ditujukan pada bangsa Indonesia, melainkan juga bagi manusia pada umumnya.
Wawasan filsafat meliputi bidang atau aspek penyelidikan (1) ontologi, (2)
epistemologi, dan (3) aksiologi. Ketiga bidang tersebut dapat dianggap mencakup
kesemestaan. Oleh karena itu, berikut ini akan dibahas landasan; Ontologis
Pancasila, Epistemologis Pancasila dan Aksiologis Pancasila.
1. Landasan Ontologis
Pancasila.
Ontologi, menurut Aristoteles
adalah ilmu yang meyelidiki hakikat sesuatu atau tentang ada, keberadaan atau
eksistensi dan disamakan artinya dengan metafisika.
Masalah ontologis antara lain: Apakah hakikat sesuatu itu?
Apakah realitas yang ada tampak ini suatu realitas sebagai wujudnya, yaitu
benda? Apakah ada suatu rahasia di balik realitas itu, sebagaimana yang tampak
pada makhluk hidup? Dan seterusnya.
Bidang ontologi menyelidiki tentang makna yang ada
(eksistensi dan keberadaan) manusia, benda, alam semesta (kosmologi),
metafisika. Secara ontologis, penyelidikan Pancasila sebagai filsafat
dimaksudkan sebagai upaya untuk mengetahui hakikat dasar dari sila-sila
Pancasila. Pancasila yang terdiri atas lima sila, setiap sila bukanlah
merupakan asas yang berdiri sendiri-sendiri, malainkan memiliki satu kesatuan
dasar ontologism. Dasar ontologis Pancasila pada hakikatnya adalah manusia,
yang memiliki hakikat mutlak yaitu monopluralis, atau monodualis, karena itu
juga disebut sebagai dasar antropologis. Subyek pendukung pokok dari sila-sila
Pancasila adalah manusia.
Hal tersebut dapat dijelaskan bahwa yang Berketuhan Yang
Maha Esa, yang berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang berpersatuan, yang
berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan serta yang berkeadilan sosial pada hakikatnya adalah
manusia.
Sedangkan manusia sebagai pendukung
pokok sila-sila Pancasila secara ontologis memiliki hal-hal yang mutlak, yaitu
terdiri atas susunan kodrat, raga dan jiwa, jasmani dan rohani. Sifat kodrat
manusia adalah sebagai makhluk individu dan makhluk sosial serta sebagai
makhluk pribadi dan makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Maka secara hirarkis sila
pertama mendasari dan menjiwai sila-sila Pancasila lainnya. (lihat Notonagoro,
1975: 53).
Hubungan kesesuaian antara negara dan landasan sila-sila
Pancasila adalah berupa hubungan sebab-akibat: Negara sebagai pendukung
hubungan, sedangkan Tuhan, manusia, satu, rakyat, dan adil sebagai pokok
pangkal hubungan. Landasan sila-sila Pancasila yaitu Tuhan, manusia, satu,
rakyat dan adil adalah sebagai sebab, dan negara adalah sebagai akibat.
2. Landasan
Epistemologis Pancasila
Epistemologi adalah cabang filsafat
yang menyelidiki asal, syarat, susunan, metode, dan validitas ilmu pengetahuan.
Epistemologi meneliti sumber pengetahuan, proses dan syarat terjadinya
pengetahuan, batas dan validitas ilmu pengetahuan. Epistemologi adalah ilmu
tentang ilmu atau teori terjadinya ilmu atau science of science. Menurut Titus
(1984:20) terdapat tiga persoalan yang mendasar dalam epistemologi, yaitu:
a. Tentang sumber pengetahuan manusia;
b. Tentang teori kebenaran pengetahuan manusia;
c. Tentang watak pengetahuan manusia.
Secara epistemologis kajian Pancasila sebagai filsafat
dimaksudkan sebagai upaya untuk mencari hakikat Pancasila sebagai suatu sistem
pengetahuan.
Pancasila sebagai sistem filsafat pada hakikatnya juga
merupakan sistem pengetahuan. Ini berarti Pancasila telah menjadi suatu belief
system, sistem cita-cita, menjadi suatu ideologi. Oleh karena itu Pancasila
harus memiliki unsur rasionalitas terutama dalam kedudukannya sebagai sistem
pengetahuan.
Dasar epistemologis Pancasila pada
hakikatnya tidak dapat dipisahkan dengan dasar ontologisnya. Maka, dasar
epistemologis Pancasila sangat berkaitan erat dengan konsep dasarnya tentang
hakikat manusia.
Pancasila sebagai suatu obyek pengetahuan pada hakikatnya
meliputi masalah sumber pengetahuan dan susunan pengetahuan Pancasila.
Tentang sumber pengetahuan Pancasila, sebagaimana telah
dipahami bersama adalah nilai-nilai yang ada pada bangsa Indonesia sendiri.
Nilai-nilai tersebut merupakan kausa materialis Pancasila.
Tentang susunan Pancasila sebagai
suatu sistem pengetahuan, maka Pancasila memiliki susunan yang bersifat formal
logis, baik dalam arti susunan sila-sila Pancasila maupun isi arti dari
sila-sila Pancasila itu. Susunan kesatuan sila-sila Pancasila adalah bersifat
hirarkis dan berbentuk pyramidal.
Sifat hirarkis dan bentuk piramidal itu nampak dalam susunan
Pancasila, di mana sila pertama Pancasila mendasari dan menjiwai keempat sila
lainny, sila kedua didasari sila pertama dan mendasari serta menjiwai sila
ketiga, keempat dan kelima, sila ketiga didasari dan dijiwai sila pertama dan
kedua, serta mendasari dan menjiwai sila keempat dan kelima, sila keempat
didasari dan dijiwai sila pertama, kedua dan ketiga, serta mendasari dan
menjiwai sila kelma, sila kelima didasari dan dijiwai sila pertama, kedua, ketiga
dan keempat.
Dengan demikian susunan Pancasila memiliki sistem logis baik
yang menyangkut kualitas maupun kuantitasnya.
Susunan isi arti Pancasila meliputi tiga hal, yaitu:
1) Isi arti Pancasila yang umum universal, yaitu hakikat
sila-sila Pancasila yang merupakan inti sari Pancasila sehingga merupakan
pangkal tolak dalam pelaksanaan dalam bidang kenegaraan dan tertib hukum
Indonesia serta dalam realisasi praksis dalam berbagai bidang kehidupan
konkrit.
2) Isi arti Pancasila yang umum kolektif, yaitu isi arti
Pancasila sebagai pedoman kolektif negara dan bangsa Indonesia terutama dalam
tertib hukum Indonesia.
3) Isi arti Pancasila yang bersifat khusus dan konkrit,
yaitu isi arti Pancasila dalam realisasi praksis dalam berbagai bidang
kehidupan sehingga memiliki sifat khhusus konkrit serta dinamis (lihat
Notonagoro, 1975: 36-40)
Menurut Pancasila, hakikat manusia
adalah monopluralis, yaitu hakikat manusia yang memiliki unsur pokok susunan
kodrat yang terdiri atas raga dan jiwa. Hakikat raga manusia memiliki unsur
fisis anorganis, vegetatif, dan animal. Hakikat jiwa memiliki unsur akal, rasa,
kehendak yang merupakan potensi sebagai sumber daya cipta manusia yang
melahirkan pengetahuan yang benar, berdasarkan pemikiran memoris, reseptif,
kritis dan kreatif. Selain itu, potensi atau daya tersebut mampu meresapkan
pengetahuan dan menstranformasikan pengetahuan dalam demontrasi, imajinasi,
asosiasi, analogi, refleksi, intuisi, inspirasi dan ilham.
Dasar-dasar rasional logis
Pancasila menyangkut kualitas maupun kuantitasnya, juga menyangkut isi arti
Pancasila tersebut. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa memberi landasan kebenaran
pengetahuan manusia yang bersumber pada intuisi. Manusia pada hakikatnya
kedudukan dan kodratnya adalah sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa, maka sesuai
dengan sila pertama Pancasila, epistemologi Pancasila juga mengakui kebenaran
wahyu yang bersifat mutlak. Hal ini sebagai tingkat kebenaran yang tinggi.
Dengan demikian kebenaran dan
pengetahuan manusia merupakan suatu sintesa yang harmonis antara
potensi-potensi kejiwaan manusia yaitu akal, rasa dan kehendak manusia untuk
mendapatkankebenaran yang tinggi.
Selanjutnya dalam sila ketiga, keempat, dan kelima, maka
epistemologi Pancasila mengakui kebenaran konsensus terutama dalam kaitannya
dengan hakikat sifat kodrat manusia sebagai makhluk individu dan makhluk
sosial.
Sebagai suatu paham epistemologi, maka Pancasila mendasarkan
pada pandangannya bahwa ilmu pengetahuan pada hakikatnya tidak bebas nilai
karena harus diletakkan pada kerangka moralitas kodrat manusia serta moralitas
religius dalamupaya untuk mendapatkan suatu tingkatan pengetahuan yang mutlak
dalam hidup manusia.
3. Landasan
Aksiologis Pancasila
Sila-sila Pancasila sebagai suatu
sistem filsafat memiliki satu kesatuan dasar aksiologis, yaitu nilai-nilai yang
terkandung dalam Pancasila pada hakikatnya juga merupakan suatu kesatuan.
Aksiologi Pancasila mengandung arti bahwa kita membahas tentang filsafat nilai
Pancasila.
Istilah aksiologi berasal dari kata
Yunani axios yang artinya nilai, manfaat, dan logos yang artinya pikiran, ilmu
atau teori. Aksiologi adalah teori nilai, yaitu sesuatu yang diinginkan,
disukai atau yang baik. Bidang yang diselidiki adalah hakikat nilai, kriteria
nilai, dan kedudukan metafisika suatu nilai.
Nilai (value dalam Inggris) berasal
dari kata Latin valere yang artinya kuat, baik, berharga. Dalam kajian filsafat
merujuk pada sesuatu yang sifatnya abstrak yang dapat diartikan sebagai
“keberhargaan” (worth) atau “kebaikan” (goodness). Nilai itu sesuatu yang berguna.
Nilai juga mengandung harapan akan sesuatu yang diinginkan.
Nilai adalah suatu kemampuan yang dipercayai yang ada pada
suatu benda untuk memuaskan manusia (dictionary of sosiology an related
science). Nilai itu suatu sifat atau kualitas yang melekat pada suatu obyek.
Ada berbagai macam teori tentang nilai.
1. Max Scheler mengemukakan bahwa nilai ada tingkatannya,
dan dapat dikelompokkan menjadi empat tingkatan, yaitu:
·
Nilai-nilai kenikmatan: dalam tingkat ini
terdapat nilai yang mengenakkan dan nilai yang tidak mengenakkan, yang
menyebabkan orang senang atau menderita.
·
Nilai-nilai kehidupan: dalam tingkat ini
terdapat nilai-nilai yang penting dalam kehidupan, seperti kesejahteraan,
keadilan, kesegaran.
·
Nilai-nilai kejiwaan: dalam tingkat ini terdapat
nilai-nilai kejiwaan (geistige werte) yang sama sekali tidak tergantung dari
keadaan jasmani maupun lingkungan. Nilai-nilai semacam ini misalnya, keindahan,
kebenaran, dan pengetahuan murni yang dicapai dalam filsafat.
·
Nilai-nilai kerokhanian: dalam tingkat ini
terdapat moralitas nilai yang suci dan tidak suci. Nilai semacam ini terutama
terdiri dari nilai-nilai pribadi. (Driyarkara, 1978)
2. Walter G. Everet menggolongkan nilai-nilai manusia ke
dalam delapan kelompok:
o
Nilai-nilai ekonomis: ditunjukkan oleh harga
pasar dan meliputi semua benda yang dapat dibeli.
o
Nilai-nilai kejasmanian: membantu pada
kesehatan, efisiensi dan keindahan dari kehidupan badan.
o
Nilai-nilai hiburan: nilai-nilai permainan dan
waktu senggang yang dapat menyumbangkan pada pengayaan kehidupan.
o
Nilai-nilai sosial: berasal mula dari pelbagai
bentuk perserikatan manusia.
o
Nilai-nilai watak: keseluruhan dari keutuhan
kepribadian dan sosial yang diinginkan.
o
Nilai-nilai estetis: nilai-nilai keindahan dalam
alam dan karya seni.
o
Nilai-nilai intelektual: nilai-nilai pengetahuan
dan pengajaran kebenaran.
o
Nilai-nilai keagamaan
3. Notonagoro membagi nilai menjadi tiga macam,, yaitu:
·
Nilai material, yaitu sesuatu yang berguna bagi
manusia.
·
Nilai vital, yaitu sesuatu yang berguna bagi
manusia untuk dapat melaksanakana kegiatan atau aktivitas.
·
Nilai kerokhanian, yaitu segala sesuatu yang
berguna bagi rohani yang dapat dibedakan menjadi empat macam:
1) Nilai kebenaran, yang bersumber pada akal (ratio, budi,
cipta) manusia.
·
2) Nilai keindahan, atau nilai estetis, yang
bersumber pada unsur perasaan (aesthetis, rasa) manusia.
3) Nilai kebaikan, atau nilai moral, yang bersumber pada
unsur kehendak (will, karsa) manusia.
4) Nilai religius, yang merupakan nilai kerokhanian
tertinggi dan mutlak. Nilai religius ini bersumber kepada kepercayaan atau
keyakinan manusia.
4. Dalam filsafat Pancasila, disebutkan ada tiga tingkatan
nilai, yaitu nilai dasar, nilai instrumental, dan nilai praktis.
a. Nilai dasar,
adalah asas-asas yang kita terima sebagai dalil yang bersifat mutlak, sebagai
sesuatu yang benar atau tidak perlu dipertanyakan lagi. Nilai-nilai dasar dari
Pancasila adalah nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan, nilai persatuan, nilai
kerakyatan, dan nilai keadilan.
b. Nilai instrumental,
adalah nilai yang berbentuk norma sosial dan norma hukum yang selanjutnya akan
terkristalisasi dalam peraturan dan mekanisme lembaga-lembaga negara.
c. Nilai praksis,
adalah nilai yang sesungguhnya kita laksanakan dalam kenyataan. Nilai ini
merupakan batu ujian apakah nilai dasar dan nilai instrumental itu benar-benar
hidup dalam masyarakat.
5. Nila-nilai dalam Pancasila termasuk nilai etik atau nilai
moral merupakan nilai dasar yang mendasari nilai intrumental dan selanjutnya
mendasari semua aktivitas kehidupan masyarakat, berbansa, dan bernegara.
6. Secara aksiologis, bangsa Indonesia merupakan pendukung
nilai-nilai Pancasila (subscriber of value Pancasila), yaitu bangsa yang
berketuhanan, yang berkemanusiaan, yang berpersatuan, yang berkerakyatan dan
berkeadilan sosial.
7. Pengakuan, penerimaan dan pernghargaan atas nilai-nilai
Pancasila itu nampak dalam sikap, tingkah laku, dan perbuatan bangsa Indonesia
sehingga mencerminkan sifat khas sebagai Manusia Indonesia
Makna nilai-nilai
pada setiap sila pancasila
Sila-sila pancasila merupakan satu
kesatuan system yang bulat dan utuh (sebagai satu totalitas). Dengan pengertian
lain, apabila tidak bulat dan tidak utuh atau satu sila dengan sila yang
lainnya terpisah-pisah,maka ia bukan pancasila.
Prinsip – prinsip filsafat pancasila
Susunan pancasila dengan suatu system yang bulat dan utuh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar